Rabu, 06 April 2011

MEMBONGKAR AKAR TERORISME


Telah dimuat di Harian Bhirawa, 
Judul buku             : Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam
Penulis                   : A.M. Hendropriyono
Penerbit                  : Kompas
Cetakan Pertama    : November 2009
Tebal                      : xxxii + 488 hlm.
Oleh:  Muhammad Rajab*
Dalam sejarah kekhidupan umat manusia, terorisme merupakan ancaman, gangguan dan hambatan abadi terhadap tujuan hidup manusia. Aksi terorisme dipahami sebagai suatu tindak kejahatan yang dilakuakan terhadap sasaran (objek) yang tidak terbatas, yaitu siapa saja walaupun tidak tersangkut ataupun tidak tahu-menahu mengenai hal yang dipermasalahkan oleh pelaku  (subjek terorisme).
Akhir-akhir ini terorisme menghantui Indonesia, walaupun beberapa pelaku aksi terorisme sudah ditemukan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan akan muncul aksi terorisme baru yang akan kembali menggemparkan Indonesia. Pasalnya, menurut Hendropriyono, terorisme tersebut mempunyai akar ideologis dan filosofis. Sehingga jika terorisme diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka para teroris hanya merupakan daun-daun dari pohon tersebut, batang dan ranting-ranting pohon merupakan organisasinya, serta filsafat dan ideologi adalah akarnya.
Buku ini dengan memakai teori filsafat Ludwing Wittgenstein, berusaha menemukan akar-akar terorisme, yang antara lain terwujud dalam pola permainan bahasa teror yang khas. Dalam bukunya ini, Hendropriyono, mantan Badan Inteljen Negara (BIN) menyatakan, hanya lewat kajian filsafat, kita bisa menyusun metode, strategi dan taktik yang tepat dalam usaha menumpas terorisme. Kajian sejarah yang juga dilakukan menunjukkan, terorisme juga tak cuma kenal di dunia Islam. Gerakan terorisme global juga ada di antara kaum fundamentalis agama-agama samawi lain, termasuk Yahudi dan Kristen.
Pada hakikatnya, akar dari terorisme memerlukan tanah untuk hidup. Dan kesuburan tanah tersebut memberikan pengaruh langsung terhadap kesuburan pohon terorisme. Tanah yang subur itu adalah lingkungan masyarakat fundamentalis (ekstrim), yang merupakan habitat, sehingga terorisme selalu timbul tenggelam dalam sejarah kehidupan manusia. Terorisme Kristen subur di dalam masyarakat fundamentalis Kristen, terorisme Zionis subur di dalam masyarakat fundamentalis Yahudi, dan terorisme kontemporer subur dalam masyarakat fundamentalis Islam. Masyarakat ekstrim Islam yang dimaksud dalam penelitian Hendropriyono ini adalah Islam politik, bukan Agama Islam yang kerap kali dikaitkan secara salah oleh kaum internasional dewasa ini terutama oleh pihak Barat.
Fundamentalisme merupakan fenomena global, yang dapat ditemui di semua agama-agama besar dunia. Ketika perspektif politik dunia dibatasi pada relasi Islam-Barat, maka perspektif itu bagi sebagain orang yang berbicara tentang fundamentalisme berarti melakukan tuduhan. Fundamentalime tidak menunjukkan keyakinan-keyakinan agama, tetapi lebih merupakan pandangan sosio-politik, yakni masalah yang menyangkut masalah negara, masyarakat dan politik dunia. Akan tetapi masalah itu dewasa ini diartikulasikan melalui atau dengan simbol-simbol agama.
Buku yang berjudul “Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam” ini dengan menggunakan dasar filsafat analitis bahasa, berusaha membongkar akar-akar terorisme global yang sering muncul di permukaan, khususnya di Indonesia.

*Peresensi adalah
Peneliti di Pusat Studi Islam (Forsifa) FAI
Universitas Muhammadiyah Malang

Senin, 04 April 2011

Mengemas Dakwah dalam Keharmonisan


Telah dimuat di Malang Post, 13 November 2010
Judul buku      : Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme dan Oase Perdamaian
Penulis             : Zuhairi Misrawi
Penerbit           : Buku Kompas
Cetakan I        : 2010
Tebal               : xiii + 254 hlm.
Peresensi         : Muhammad Rajab*

Salah satu mimpi dan cita-cita yang harus senantiasa dikumandangkan di negeri multikultur ini adalah hidup damai, toleran dan tanpa kekerasan. Hidup damai tersebut harus didukung sepenuhnya oleh seluruh warga negara, terutama kelompok muslim. Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah masyarakat muslim.
            Cita-cita tersebut menjadi samar dan tidak jelas ketika berbagai aksi kekerasan terus mewarnai perjalanan hidup bangsa Indonesia. Munculnya gerakan-gerakan ekstrim di kalangan orang beragama dianggap sebagai salah satu pemicu terjadinya aksi kekerasan tersebut. Pemaknaan yang salah terhadap keyakinan ideologi yang dianutnya menjadikan para pelaku mengatasnamakan agama dalam melakukan aksi kekerasan tersebut.
            Gerakan teroris yang sering menghantui bumi Indonesia merupakan salah satu aksi yang didasarkan pada pemaknaan yang salah terhadap konsep jihad. Jihad dimaknai harus dengan perang. Pemaknaan demikian tidak cocok untuk diterjemahkan di bumi Indonesia dengan melakukan pengeboman terhadap orang-orang yang tak besalah.
            Buku yang ditulis oleh cendikiawan muslim asal Tanah Garam ini membahas tentang harapan dan kegelisagan seorang muslim moderat. Yaitu harapan membangun toleransi dan kegelisahan atas munculnya terorisme dan ekstrimisme. Karya ini merupakan hasil komitmen penulisnya, Zuhairi Misrawi, untuk menjadikan wacana moderasi Islam sebagai obor yang dapat menyinari umat dan membangunkan mereka dari kemalasan, keterpurukan, dan ketertinggalan. Karena menurut intelektual muda NU ini, sikap moderat mutlak diperlukan dan diteladani untuk membangun toleransi dalam konteks kebangsaan.
            Toleransi dalam konteks kebangsaan ini menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar tidak akan hadir tanpa membangun toleransi di internal umat Islam itu sendiri. Dan salah satu cara untuk mewujudkan tujuan tersebut, yaitu meneladani ulama’ terdahulu dalam membangun toleransi. Setajam apapun perbedaan di antara mereka, mereka masih dan senantiasa saling menghormati serta menerima perbedaan tanpa ada ancaman sedikitpun.
             Sejarah umat Islam sebenarnya telah menunjukkan adanya usaha mewujudkan sikap toleransi yang baik di tengah-tengah masyarakat majmuk. Di Arab, tepatnya di Madinah, perssetujuan untuk berdamai pernah dideklarasikan, yang biasa disebut denngan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah). Di atas kertas, piagam tersebut mampu membangun toleransi yang berbasis kesepakatan di antara kelompok agama-agama, khususnya Islam dan Yahudi. Namun, dalam perjalanan sejarah persetujuan tersebut dilanggar karena belum menguatnya pemahaman tentang pentingnya toleransi di masyarakat plural. (hal. 7)
            Setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan untuk membangun toleransi sebagai nilai kebijakan. Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan di antara berbagai kelompok dan aliran (mutual trust).
Richard H. Dees (1999) memberikan resep yang sejauh ini merupakan cara terbaik untuk mengukuhkan toleransi, khususnya dalam masyarakat plural. Menurut Dees, masalah toleransi selama ini karena toleransi dipahami sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam persetujuan hitam di atas putih. Toleransi dalam level ini menurut Dees, mempunyai kelemahan yang bisa bertentangan dengan spirit toleransi karena rentan terjerembab dalam kelompok tertentu, terutama bila pihak mayoritas menjadikan otoritasnya untuk menentukan arah dan acuan dari kesepakatan toleransi. Toleransi model ini bisa menjadi jalan tol bagi munculnya tindakan intoleran karena toleransi yang dibangun hanya di permukaan, yang biasa dikenal dengan toleransi politis.

Dakwah Kultural
            Aksi terorisme di Indonesia telah memakan banyak korban. Ratusan jiwa tak bedosa melayang begitu saja akibat tindak kekerasan yang dilakukan para teroris. Masih melekat dalam ingatan kita bagaimana ledakan dahsyat yang terjadi di Bali. Kemudian di susul lagi dengan tragedi pengeboman di dua hotel berbintang Jakarta. Beberapa aktor teroris tersebut sebagian telah ditangkap oleh polisi. Setidaknya, sejak tahun 1999 hingga 2007, polisi sudah menangkap 400 orang yang terlibat berbagai peristiwa terorisme, termasuk yang diduga dikendalikan oleh Jama’ah Islamiyah.
            Walaupun demikian, aksi terorisme masih terus menghantui bumi Indonesia. Akhir-akhir ini Presiden SBY lagi gencar-gencarnya ingin menumpas terorisme. Terorisme memang punya akar yang menjadi sumber tumbuh-kembangnya terorisme tersebut. Jika akar terorisme masih ada, maka aksi terorisme tidak akan pernah mengalami titik akhirnya. Tindakan pemerintah untuk menangkapi para pelaku teroris dirasa tidak cukup. Karena hal itu hanya memberantas pada cabang-cabangnya saja. Menurut Hendropriyono, terorisme ini mempunyai akar ideologis dan filosofis. Sehingga jika terorisme diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka para teroris hanya merupakan daun-daun dari pohon tersebut, batang dan ranting-ranting pohon merupakan organisasinya, serta filsafat dan ideologi adalah akarnya.
            Zuhairi Misrawi melalui ini menawarkan pentingnya pemberantasan terorisme dengan pendekatan dakwah kultural. Yaitu dakwah yang mengajak umat membangun peradaban, etos kerja, keadilan sosial dan perdamaian. Dalam waktu panjang terbukti kalangan moderat dapat memberi kontribusi dalam pembangunan bangsa, terutama dalam penanaman nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi.
            Selama ini dakwah kultural telah mengalami kemacetan karena dua hal. Yaitu, pertama, kalangan moderat terlalu fokus pada dakwah global melalui forum-forum internasional. Kedua, kalangan moderat terlalu hanyut dalam politik praktis. Padahal, dalam berbagai forum sudah dikemukakan, keterlibatan kalangan moderat dalam politik praktis akan melumpuhkan agenda-agenda kultural. Buku ini merupakan jawaban konkrit untuk menangkas terorisme dari akar-akarnya serta mengajak masyarakat untuk menciptakan suasana yang damai dan harmonis.

*Peresensi adalah
Penulis Buku dan Peneliti di Pusat Studi Islam Unmuh Malang

Membaca Sosok Pemimpin Bersahaja


Dimuat di Malang Post, 30 Oktober 2010
Judul buku      : Hatta, Si Bung yang Jujur & Sederhana
Penulis             :  Adhe Firmansyah
Penerbit           : Garasi House of Book
Cetakan I        : April 2010
Tebal               : 160 halaman
Peresensi         : Muhammad Rajab*

Jika India memiliki Mahatma Gandhi sebagai bapak negarawan yang sederhana, santun, bersahaja bagi rakyatnya, maka Indonesia memiliki Bung Hatta. Sepanjang hidupnya, Bung Hatta berperilaku senantiasa menampilkan sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap Bung Karno yang pada masa sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama cukup erat namun kemudian mereka tidak dapat bekerja sama secara politik, tetapi sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya. Ketika Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya. Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai.
Saat peringatan kemerdekaan Republik Indonesia tiba, nama  tokoh kelahiran 1902 ini ramai dibicarakan. Para wartawan sibuk mewancarai anak cucu keturuannya untuk menanyakan kesan-pesan terhadap sang Proklamator. Sebab jika kita memperbincangkan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak akan pernah lepas dari pembahasan tokoh yang satu ini. Perannya dalam prokalamasi kemerdekaan sangat besar.
Keberanian dan keteguhannya mengantarkan dirinya menjadi salah satu tokoh kunci pergerakan bangsa. Keberaniannya nampak ketika ia menandatangani naskah proklamasi, naskah sakti bukti pernyataan kebebasan Indonesia atas kolonialisme bersama Soekarno yang akhirnya  dijuluki Dwituggal. Mereka berdua penanggung jawab peralihan kekuasaan dari pemerintahan kolonialisme kepada negara merdeka yang berkesatuan.
            Banyak  kisah tentang Hatta yang menyadarkan kita semua, bahwa Indonesia pernah memiliki seorang pemimpin dan negarawan yang teramat bersahaja. Hal itu terlihat saat Bung Hatta mulai tidak sepaham dengan Bung Karno antara lain menganggap Bung Karno sudah ke-kiri-kirian, terlebih saat Bung Karno mencetuskan ide Nasakom, Bung Hatta yang sudah tidak sepaham lagi dengan Bung Karno memilih mengundurkan diri 1 Desember 1956.
            Buku ini berbeda dengan buku-buku yang lain. Di dalamnya tidak hanya diceritakan bagaimana perjuangan Bung Hatta merebut kemerdekaan bangsa Indonesia, tetapi juga dijelaskan kisah kehidupan pribadinya. Membaca buku ini, kita disuguhi menu hidangan seorang manusia yang uncorruptable dan sederhana.
            Banyak teladan yang perlu dicontoh dari Bung Hatta. Dia adalah sosok yang jujur karena tidak pernah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme selama menjadi pejabat negara. Di juga jujur terhadap hati nuraninya. Pada saat yang sama, dia adalah pribadi yang sederhana dan apa adanya.
            Paahlawan bangsa ini tidak pernah tergoda dengan kekuasaan. Setelah mengundurkan diri dari pemerintahan, dia menjadi warga negara biasa. Beberapa perusahaan menawarinya untuk menjadi komisaris, tetapi dia menolak. Alasannya dia malu dinilai hanya mencari pangkat dan jabatan. Dia juga tidak mau dinilai rakyat seperti orang yang mementingkan diri sendiri dengan tidak mau memperhatikan perkembangan negeri ini.
            Sikap jujur dan kesederhanaannya juga ditunjukkan dengan menolak kenaikan uang pensiun. Bahkan dia menolak diberi rumah tambahan yang lebih besar karena takut tidak mampu membiayai ongkos perawatan rumah tersebut. Prinsipnya yang kokoh itu kian tampak ketika Bank Dunia menawarkan kedudukan pada Hatta, tetapi dia tak mau menerimanya. Penolakan itu sempat mengecewakan anak-anaknya. Halida anak bungsunya mengatakan bahwa ia ingin kuliah ke luar negeri. Namun keinginannya itu tertunda lantaran penolakan Hatta atas posisi yang ditawarkan Bang Dunia tersebut.
            Peristiwa menakjubkan terjadi pada 1970. Ketika itu Bung Hatta diundang berkunjung ke Irian Jaya (Papua), untuk sekaligus meninjau tempat dia pernah dibuang pada masa penjajahan Belanda. Di sana dia disodori amplop sebagai uang saku, tetapi dia menolaknya. Ketika amplop itu disodorkan kepadanya, spontan dia berkata, “surat apa ini?”. Dijawab oleh Sumarno yang mengatur kunjungan Hatta, “bukan surat Bung, uang saku buat perjalanan Bung Hatta di sini. Bung Hatta menjawab, bukankah uang ongkos sudah ditanggung pemerintah. Sumarno terus meyakinkan Hatta agar menerima uang itu, tapi tetap ditolaknya dengan alasan bahwa uang itu adalah uang rakyat. (hal. 107)
            Hatta juga merupakan politisi santun dalam mengutarakan pendapatnya. Setelah tidak menjabat wakil presiden dia tampil sebagai oposisi yang rajin menyampaikan kritik kontruktif terhadap pemerintahan Soekarno. Dia tidak mau mengerahkan massa, memprovokasi, memberontak, dan sebagainya. Karena dia bukanlah tipe agitator dan haus kekuasaan. Dia rajin mengkampanyekan pentingnya mendidik rakyat secara rasional.
            Kejujuran dan kesantunan yang diperlihatkan Bung Hatta menunjukkan sikap kesatria negarawan yang patut dihargai dan dicontoh. Dalam hubungannya dengan Soekarno misalnya, dia menunjukkan kerja sama yang kritis (critical cooperation) terhadap Soekarno. Bahkan adakalanya Hatta memberikan masukan langsung datang istana selain menulis surat atau menelpon. Soekarno pun tetap menganggap Hatta sebagai teman dan bukan musuh yang harus dilumpuhkan.
            Pada intinya, buku ini memberikan suguhan sosok teladan kepada para pemimpin untuk tidak melakukan praktik politik kotor, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sehingga buku ini sangat cocok dibaca oleh para pemimpin khususnya dan masyarakat pada umumnya, supaya bisa mengambil pelajaran bagaimna sikap kesantunan dan kejujuran Bung Hatta dalam berpolitik dan memimpin.

*Peresensi adalah
Penulis Buku dan Peneliti di Pusat Studi Islam Unmuh Malang

“Gelombang Ketiga” dalam Islamisasi Nusantara


Telah di muat di harian Bhirawa Jawa Timur, 13 Januari 2011
Judul buku      : Cheng Ho; Penyebar Islam dari China ke Nusantara
Penulis             : Tan Ta Sen
Penerbit           : Buku Kompas
Cetakan I        : Juni 2010
Tebal               : xxii+460 halaman

Dalam buku ini Tan Ta Sen berusaha meneguhkan teori “gelombang ketiga” dalam sejarah penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. Setelah berlangsungnya dua gelombang pengaruh Islam yang datang melalui jalur perdagangan dari Gujarat (India) dan Timur Tengah, kemudian terjadi pula “Gelombang Cina” yang juga merupakan arus besar penyebaran Islam ke Asia Tenggara, termasuk kepulauan Nusantara.
Tokoh Cina yang melakukan penyebaran Islam di Nusantara adalah laksamana Cheng Ho. Dialah laksamana laut muslim pada Dinasti Ming (1368-1644) yang selama 27 tahun (1405-1433) telah memimpin tujuh pelayaran ke selatan dan mengunjungi banyak negara serta wilayah. Tokoh yang setia menemani Cheng Ho di tiga dari tujuh pelayaran yang dilakukannya adalah Ma Huan. Ia mencatat banyak hal dari pelayaran Cheng Ho. Bahkan tulisannya dijadikan sebuah jurnal yang diberi judul Yiangyai Shnglan.
Ma Huan menulis, bahwa Cheng Ho telah lima kali mengunjungi Nusantara dan singgah di Sumatera dan Jawa. Lokasi di kedua pulau yang dikunjunginya  antara lain Samudera Pasai (Aceh sekarang), Palembang, Semarang dan Cirebon. Cheng Ho bukan hanya memamerkan keperkasaan militer kaisar dinasti Ming, menunjukkan keluhuran kebudayaan Cina, dan menata kembali hubungan militer yang terputus dengan negara-negara di wilayah selatan menjelang runtuhnya Dinasti Mongol. Akan tetapi Cheng Ho juga berperan penting dalam menyebarkan agama Islam di berbagai kawasan yang dikunjunginya itu.
Ekspedisi-ekspedisi Cheng Ho ke kepulauan Melayu menemukan sejumlah pemukiman orang Cina di jawa dan Sumatera. Hal demikian mengandung nilai sejarah yang sangat penting, baik dalam sejarah Cina maupun Asia Tenggara. Itu memberikan dimensi politik budaya baru dan perspektif baru dalam bagi misi-misi diplomasi dan perdagangan Cheng Ho. Hal ini memiliki dampak langsung pada masyarakat Cina perantauan di Indonesia dan juga terhadap penyebaran Islam di Jawa melalui orang muslim Cina di sana. (hal. 254)

Kontak Budaya
Buku yang ditulis oleh Presiden Internasional Zheng He Society dan juag Direktur Cheng Ho Museum Cultural Museum Malaka ini menghadirkan bukti-bukti sejarah yang menguatkan teori “gelombang ketiga” itu.  Cheng Ho telah meninggalkan warisan abadi berupa pertukaran budaya lintas-benua antara Timur dan Barat.
Ekspedisi-ekspedisnya telah memperluas dan memperdalam kontak budaya antar budaya serta intra regional di Asia. Sejumlah besar  laporan tangan pertama tentang misi-misi Cheng Ho tersedia dalam kronik-kronik Cina, Jepang, dan Jawa yang menekankan pentingnya ekspedisi-ekspedisi itu, dan membangkitkan perhatian luar biasa di berbagai penjuru Asia.
Cheng Ho ahli dalam memperbaharui dan membangun masjid dan kelenteng-kelenteng. Dia yang bertanggung jawab atas rekontruksi Pagoda Opaque dan Kuil Da Baoan Budhis di Nanjing, renovasi masjid Jingjue di Nanjing, masjid Qinjing di Xian dan kelenteng Mazu di Quanzhou. Cheng Ho membangun banyak masjid di Semarang, Ancol, Tuban Gresik, Cirebon, dan lain-lain untuk menumbuhkan komunitas-komunitas Cina muslim madzhab Hanafi di Jawa. Meskipun masjid-masjid kuno yang dibangun Cheng Ho di Jawa itu mungkin telah hancur dan direnovasi, karya-karya yang dirintisnya pasti mempengaruhi para perancang dan pengembang berikutnya. Sebab itu, bekas-bekas pengaruh arsitektur Cina pada bangunan-bangunan religius lokal di tempat-tempat yang pernah dikunjungi Cheng Ho masih tampak jelas. (hal.280)
Buku ini mempunyai dua ciri khas yang membedakannya dengan buku atau artikel yang pernah terbit di negeri ini mengenai peraan Cheng Ho dalam proses islamisasi di Nusantara. Pertama, ia telah memperkuat asumsi tentang adanya arus Cina dalam proses islamisasi di Asia Tenggara, khususnya di Kepulauan Nusantara dengan didasarkan kepada bukti-bukti yang dapat diterima secara ilmiah.
Kekuatan buku utama dari buku yang berasal dari disertasi yang dipertahankan di hadapan dewan penguji Universitas Indonesia ini, terletak pada pembacaan atas naskah-naskah kuno yang ditinggalkan oleh dinasti yang pernah memerintah daratan Tiongkok, khususnya kekaisaran Ming. Di antara naskah-naskah kuno yang ditelusuri dan dikaji secara kritis oleh Tan Ta Sen adalah Mingshi (Sejarah Dinasti Ming), Mingshi Lu (Sejarah Sejati Dinasti Ming), Yingyai Shenglan, Xingxia Shenglan (Survei tentang Negara-Negara di Bawah Bintang), Xiyang Fanguozi (Catatan tentang Negara-Negara Asing) dan lain-lain.
Kedua, Tan Ta Sen telah memperkuat asumsi, dengan didasarkan pada penelitian atas bukti-bukti tertulis, mengenai adanya “arus ketiga” dalam proses penyebaran Islam di Indonesia. Selama ini mungkin kita baru mengenal tentang dua arus utama, yakni arus India (Gujarat) dan Arab.
Untuk memperkuat argumennya, Tan Ta Sen menghadirkan bukti-bukti berupa gambar-gambar bangunan bersejarah, seperti masjid-masjid berarsitektur Cina, batu-batu nisan, ornamen-ornamen Tam Sam Cai, dan keramik-keramik Dinasti Ming era Cheng Ho untuk wadah air suci di masjid-masjid tua Indonesia. Hal ini memberikan nilai tambah tersendiri bagi buku ini untuk memperkuat keabsahan ilmiahnya
.
*Peresensi adalah
Peneliti di Pusat studi Islam Universitas Muhammadiyah Malang