Telah dimuat di Malang Post, 13 November 2010
Judul buku : Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme dan Oase Perdamaian
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Buku Kompas
Cetakan I : 2010
Tebal : xiii + 254 hlm.
Peresensi : Muhammad Rajab*
Salah satu mimpi dan cita-cita yang harus senantiasa dikumandangkan di negeri multikultur ini adalah hidup damai, toleran dan tanpa kekerasan. Hidup damai tersebut harus didukung sepenuhnya oleh seluruh warga negara, terutama kelompok muslim. Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah masyarakat muslim.
Cita-cita tersebut menjadi samar dan tidak jelas ketika berbagai aksi kekerasan terus mewarnai perjalanan hidup bangsa Indonesia. Munculnya gerakan-gerakan ekstrim di kalangan orang beragama dianggap sebagai salah satu pemicu terjadinya aksi kekerasan tersebut. Pemaknaan yang salah terhadap keyakinan ideologi yang dianutnya menjadikan para pelaku mengatasnamakan agama dalam melakukan aksi kekerasan tersebut.
Gerakan teroris yang sering menghantui bumi Indonesia merupakan salah satu aksi yang didasarkan pada pemaknaan yang salah terhadap konsep jihad. Jihad dimaknai harus dengan perang. Pemaknaan demikian tidak cocok untuk diterjemahkan di bumi Indonesia dengan melakukan pengeboman terhadap orang-orang yang tak besalah.
Buku yang ditulis oleh cendikiawan muslim asal Tanah Garam ini membahas tentang harapan dan kegelisagan seorang muslim moderat. Yaitu harapan membangun toleransi dan kegelisahan atas munculnya terorisme dan ekstrimisme. Karya ini merupakan hasil komitmen penulisnya, Zuhairi Misrawi, untuk menjadikan wacana moderasi Islam sebagai obor yang dapat menyinari umat dan membangunkan mereka dari kemalasan, keterpurukan, dan ketertinggalan. Karena menurut intelektual muda NU ini, sikap moderat mutlak diperlukan dan diteladani untuk membangun toleransi dalam konteks kebangsaan.
Toleransi dalam konteks kebangsaan ini menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar tidak akan hadir tanpa membangun toleransi di internal umat Islam itu sendiri. Dan salah satu cara untuk mewujudkan tujuan tersebut, yaitu meneladani ulama’ terdahulu dalam membangun toleransi. Setajam apapun perbedaan di antara mereka, mereka masih dan senantiasa saling menghormati serta menerima perbedaan tanpa ada ancaman sedikitpun.
Sejarah umat Islam sebenarnya telah menunjukkan adanya usaha mewujudkan sikap toleransi yang baik di tengah-tengah masyarakat majmuk. Di Arab, tepatnya di Madinah, perssetujuan untuk berdamai pernah dideklarasikan, yang biasa disebut denngan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah). Di atas kertas, piagam tersebut mampu membangun toleransi yang berbasis kesepakatan di antara kelompok agama-agama, khususnya Islam dan Yahudi. Namun, dalam perjalanan sejarah persetujuan tersebut dilanggar karena belum menguatnya pemahaman tentang pentingnya toleransi di masyarakat plural. (hal. 7)
Setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan untuk membangun toleransi sebagai nilai kebijakan. Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif. Kedua, membangun kepercayaan di antara berbagai kelompok dan aliran (mutual trust).
Richard H. Dees (1999) memberikan resep yang sejauh ini merupakan cara terbaik untuk mengukuhkan toleransi, khususnya dalam masyarakat plural. Menurut Dees, masalah toleransi selama ini karena toleransi dipahami sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam persetujuan hitam di atas putih. Toleransi dalam level ini menurut Dees, mempunyai kelemahan yang bisa bertentangan dengan spirit toleransi karena rentan terjerembab dalam kelompok tertentu, terutama bila pihak mayoritas menjadikan otoritasnya untuk menentukan arah dan acuan dari kesepakatan toleransi. Toleransi model ini bisa menjadi jalan tol bagi munculnya tindakan intoleran karena toleransi yang dibangun hanya di permukaan, yang biasa dikenal dengan toleransi politis.
Dakwah Kultural
Aksi terorisme di Indonesia telah memakan banyak korban. Ratusan jiwa tak bedosa melayang begitu saja akibat tindak kekerasan yang dilakukan para teroris. Masih melekat dalam ingatan kita bagaimana ledakan dahsyat yang terjadi di Bali. Kemudian di susul lagi dengan tragedi pengeboman di dua hotel berbintang Jakarta. Beberapa aktor teroris tersebut sebagian telah ditangkap oleh polisi. Setidaknya, sejak tahun 1999 hingga 2007, polisi sudah menangkap 400 orang yang terlibat berbagai peristiwa terorisme, termasuk yang diduga dikendalikan oleh Jama’ah Islamiyah.
Walaupun demikian, aksi terorisme masih terus menghantui bumi Indonesia. Akhir-akhir ini Presiden SBY lagi gencar-gencarnya ingin menumpas terorisme. Terorisme memang punya akar yang menjadi sumber tumbuh-kembangnya terorisme tersebut. Jika akar terorisme masih ada, maka aksi terorisme tidak akan pernah mengalami titik akhirnya. Tindakan pemerintah untuk menangkapi para pelaku teroris dirasa tidak cukup. Karena hal itu hanya memberantas pada cabang-cabangnya saja. Menurut Hendropriyono, terorisme ini mempunyai akar ideologis dan filosofis. Sehingga jika terorisme diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka para teroris hanya merupakan daun-daun dari pohon tersebut, batang dan ranting-ranting pohon merupakan organisasinya, serta filsafat dan ideologi adalah akarnya.
Zuhairi Misrawi melalui ini menawarkan pentingnya pemberantasan terorisme dengan pendekatan dakwah kultural. Yaitu dakwah yang mengajak umat membangun peradaban, etos kerja, keadilan sosial dan perdamaian. Dalam waktu panjang terbukti kalangan moderat dapat memberi kontribusi dalam pembangunan bangsa, terutama dalam penanaman nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi.
Selama ini dakwah kultural telah mengalami kemacetan karena dua hal. Yaitu, pertama, kalangan moderat terlalu fokus pada dakwah global melalui forum-forum internasional. Kedua, kalangan moderat terlalu hanyut dalam politik praktis. Padahal, dalam berbagai forum sudah dikemukakan, keterlibatan kalangan moderat dalam politik praktis akan melumpuhkan agenda-agenda kultural. Buku ini merupakan jawaban konkrit untuk menangkas terorisme dari akar-akarnya serta mengajak masyarakat untuk menciptakan suasana yang damai dan harmonis.
*Peresensi adalah
Penulis Buku dan Peneliti di Pusat Studi Islam Unmuh Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar